Jumat, 29 April 2016

hukum islam pada masa khulafaurrasyidin



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum islam bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode-periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan.
Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena pada masa ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing-masing identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan menjadi pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan atau menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing-masing sahabat itu.
Hal ini sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: (أنتم أعلم بأمور دنياكم), yang artinya “Kalian-kalian semua lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama empat sahabat yang terkenal dengan sebutan Khulafa’ur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga (أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم اهتديتم), yang artinya “sahabat-sahabatku ibarat bintang – bintang, siapa saja yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk (hidayah)”. Berbeda dengan Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio-kultural di samping ilm- ilmu agama yang dimiliki mereka. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam suatu permasalahan terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.” 

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum Islam pada masa sahabat?
2. Apa sumber hukum Islam yang dipakai pada masa sahabat?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hukum Islam pada masa sahabat
2. Untuk mengetahui sumber hukum Islam yang dipakai pada masa sahabat.














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber hukum islam yang dipakai pada masa sahabat
Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat Islam pada masa itu yang memerlukan penentuan hukum. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan akal (ra’yu). Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasulullah melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz,“Dengan apa engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Allah.” Kemudian Rasul bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasulullah.” Dan Rasul bertanya lagi, “Dan jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah Rasulullah?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Allah atas limpahannya Taufik-Nya.
Para sahabat yang pernah mengalami hidup bersama Nabi Muhammad, diantara mereka banyak yang hafal Al-Qur’an dan Hadits. Karena keistimewaan inilah mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan nash-nash tersebut jika ada pertanyaan atau persoalan yang muncul pada masa itu. Karena para sahabat mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi bersabda, maka mereka memahami tentang ketetapan hukum serta maksud dan tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan ummat. Diantara para sahabat yang termasyhur yakni, Abu bakar, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Musa, Abdullah bin Amir bin As, Zaid bin Tsabit dll.
Dan dalam berijtihad tidak jarang para sahabat berbeda pendapat. Keputusan fiqih yang berbeda ini karena beberapa hal, misalnya:
1.  Perbedaan persepsi dalam menjawab persoalan dan pertanyaan yang muncul. Misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah berdiri ketika menyaksikan jenazah orang Yahudi. Ini melahirkan keragaman penafsiran, apakah Nabi tidak tahu bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi, sehingga, andaikata Nabi mengetahui ia tidak akan berdiri, atau apakah Nabi tahu, sehingga penghormatan jenazah itu perlu tanpa memandang agama si mayit, ataukah Nabi tidak mau kalau ketika mayit melintas, posisi Nabi lebih rendah sehingga beliau berdiri.
2. Perbedaan pendapat juga dapat terjadi karena sebuah hadits diketahui oleh orang tertentu yang tidak dipakai atau diketahui oleh orang lain. Contohnya perbedaan pendapat tentang najis mughalladzah, do’a qunut dalam shalat subuh dll.
3.  Hadits yang dipandang tidak kuat, sehingga harus ditinggalkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bahwa ia ditalak suaminya tiga kali, dan Rasulullah tidak menentukan baginya nafkah dan tempat tinggal. Umar menolak kesaksiannya itu dan berkata, “Saya tidak akan meninggalkan Kitab Allah hanya karena ucapan seorang wanita yang tidak saya ketahui benar dan tidaknya. Dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal”.
4. Keragaman pengetahuan tentang nash juga melahirkan perbedaan pendapat. Nabi pernah memberi keringanan kepada sahabat untuk nikah mut’ah pada tahun Khaibar dan Authas, kemudian melarangnya. Berdasarkan keputusan Nabi tadi, sebagian orang Islam mengatakan bahwa nikah mut’ah yang tadinya diperbolehkan itu telah dinasakh dengan larangannya, dan tidak pernah diperbolehkan itu telah diperbolehkan lagi. Sebagian lain berpendapat bahwa dilarang dan diperbolehkannya nikah mut’ah itu karena pertimbangan tertentu, bukan tanpa alasan seperti pendapat pertama.
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
B.     Kondisi hukum Islam pada masa khulafaurrasyidin atau sahabat
Pasca kepergian Rasulullah SAW, hukum Islam yang telah di bangun oleh oleh beliau sebagai dasar-dasar yang mengatur kehidupan bermasyarakat, kemudian diteruskan oleh para sahabat-sahabat nabi yang semasa hidupnya secara sukarela sudah ikut terlibat dalam perjuangan nabi mensyi’arkan ajaran-ajaran Islam. Pada zaman Rasulullah SAW, pemegang otoritas kekuasaan tasy’ri sepenuhnya di pegang oleh nabi Muhammad SAW.
Sepeninggalnya Rasulullah SAW, nabi telah mewariskan dua sumber hukum Islam yang dapat dijadikan rujukan dalam pemecahan segala permasalahan yang ada, yaitu al Qur’an dan Sunnah nabi. Kehidupan bermasyarakat yang semakin dinamis, memingkinkan timbulnya permasalahan-permasalahan baru yang harus dipecahkan, untuk itu para ulama baik dikalangan sahabat dan tokoh Islam lainnya, berkeawjiban menegakkan hukum tas’ri pada zamannya masing-masing. Kewajiban tersebut, sebagaimana  AW. Khalaf simpulkan berupa; penjelasan kepada umat Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan interpretasi dari teks-teks al Qur’an dan as Sunnah.
Kemudian, menyebarluaskan dikalangan umat Islam tentang hal-hal yang mereka hafal dari ayat-ayat al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Lalu, memfatwakan kepada masyarakat tentang peristiwa-peristiwa hukum dan urusan peradilan yang belum terdapat ketetapan hukumnya (Abdul Wahab Khalaf. 5, 2002).
Adapun sumber dan metode penetapan hukum pada masa sahabat dapat disarikan dari al Qur’an, hadits Rasulullah SAW, dan Ijtihad Sahabat. Sedangkan dalam pandangan Khudari Bik, sumber pengambilan hukum pada masa sahabat dapt di ambil dari; al Qur’an sebagai landasan utama, kemudian as Sunnah, Qiyas atau Ra’yu (pendapat), lalu Ijma yang bersandar pada al Qur’an, sunnah dan qiyas (Khudari Bik. 259).
Alur pemecahan masalahnya adalah ketika terjadi suatu permasalahan baru atau persengketaan, maka para sahabat dan ahli fatwa mencari ketetapan hukumnya melalui al Qur’an, apabila mereka menemukan pemecahannya dalam al Qur’an, maka mereka menerapkan hukum tersebut.Jika ternyata tidak ditemukan keterangan dalam al Qur’an, maka para ulama membangun fatwa yang bersandar pada as Sunnah. Jika memang tidak didapati keterangan yang spesifik tentang permasalahan yang muncul, maka para ulama melakukan ijtihad untuk menyelesaikannya,baik dengan ijtihad ataupun qiyas dengan pertimbangan utuk kemaslahatan umat manusia.
Argumentasi kenapa setiap permasalah harus di ambil pemecahannya dalam al Qur’an dan hadits nabi, itu berdasar pada keterangan dalam QS.An Nisa, 59. Sementara dasar argumentasi yang mengharuskan ijtihad sahabat merupakan bagian dari hukum Islam adalah bersandar pada apa yang pernah terjadi ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal menjadi Qadhi di negeri Yaman (lihat AW. Khalaf.49, 2002).
Sementara karakteristik tasyri pada zaman sahabat yang bisa dilihat adalah, fiqih pada zaman ini sejalan dan serasi dengan segala permasalahan yang muncul kala itu. Tidak terbatas pada apa yang pernah terjadi pada masa Rasul. Sementara yang memegang kendali fatwa dan qadha dalam berbagai permasalahan penting adalah para khalifah.
Pada zaman ini, al Qur’an telah di bukukan dan mushaf telah disentralisasikan, sehingga kaum Muslim dapat terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi masyarakat Islam yang sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa kelompok.Kemudian sunnah pada zaman ini, masih terjaga kemurniannya, tidak terkontaminasi dengan kebohongan dan penyimpangan karena zaman yang begitu dekat dengan Rasulullah dan para penukilnya adalah para sahabat Rasul.
Selain itu pada zaman ini, muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan silam yaitu Ijma’ dan itu sering terjadi karena memang sudah dilakukan dan semua asbabnya memadai. Kemudian para sahabat tidak mewariskan fiqih yang tertulis, namun mereka hanya mewariskan fatwa dan hokum yang tersimpan dalam dada para sahabat dan disampaikan dengan cara penghikayatan (Rasyad Hasan Khalil. 75, 2009).
Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyariatkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun kemsyarakatan. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamana serta kebahagiaan dalam hidupnya. Allah berfirman dalam Surat Al-Nisa ayat 105:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.
Sejarah penetapan hukum Islam pada periode sahabat dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad wafat, yaitu tahun 11 Hijriyah. Dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41 Hijriyah. Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum Islam dalam arti fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits. Hukum dalam pengertian syariat telah berhenti bersamaan dengan Nabi Muhammad wafat. Periode ini disebut sebagai periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para sahabat.
Dan masa mulai dari periode khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior, hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M). Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Pada periode sahabat dalam penetapan hukum Islam ini lahir syarat dan ketentuan siapa yang berhak menetapkan hukum dan memberi fatwa, antara lain:
a.       Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum.
b.      Berapa lama mereka bergaul dan dekat dengan Nabi Muhammad.
c.       Dan seberapa jauh pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun hadits.
d.      Di samping itu juga hafal Al-Qur’an dan hadits juga dipertimbangkan.
Periode sahabat ditandai dengan penafsiran undang-undang dan terbukanya istinbath hukum (menetapkan hukum) dalam kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari para pemuka sahabat muncul pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis (kehakiman) bagi penafsiran nash-nash serta penjelasannya. Dari para sahabat banyak keluar fatwa hukum mengenai kejadian yang tidak ada nashnya dan dapat dipandang sebagai dasar dalam berijtihad dan beristimbath.
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
1.      Kondisi hukum Islam pada masa Abu Bakar
Pada awal kekhalifahan sahabat Abu Bakar as Shidiq, ia memegang kekuasaan tasyri mengenai problem yang belum ada ketetapan hukumnya menurut nash dalam suatu lembaga tasyri yang dibentuk dan di hadiri oleh para sahabat. Abu Bakar dikenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ia merupakan salah satu sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah SAW, karena kedeketannya dengan Rasul itulah, ia mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa keislaman di banding dengan sahabat yang lain.
Di ceritakan dalam riwayat yang dikemukan al Baghawi dalam kitabnya “Masahih as-Sunnah”, ia menuturkan “Abu Bakar, kalau dihadapkan suatu kasus perselisihan kepadanya, maka beliau mencari ketetapan hukumnya dalam al Qur’an. Kalau beliau mendapat ketetapan hukumnya dalam al Qur’an, maka beliau memutuskan perkara meraka dengan ketetapan menurut al Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam al Qur’an beliau menetapkan ketetapan hukumnya menurut ketetapan Rasulullah SAW dalam sunnah, kemudian jika mendapat kesulitan beliau berkonsultasi dengan sesame sahabat, kemudian berkata “telah dihadapkan kepadaku suatu permasalahan, apakah di antara kalian ada yang mengetahui bahwa nabi telah menetapkan hukumnya perihal masalah seperti ini?.Adakalanya sekelompok sahabat berkumpul dan menyebutkan bahwa nabi SAW pernah menetapkan hukumnya. Kemudian Abu Bakar berkata: “segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara kita orang yang menghafal sunnah nabi kita”.
Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan, mula-mula dicarinya wahyu dalam wahyu tuhan. Kemudian dalam dunah nabi, kemudian abu baker bertanya kepada sahabat nabi yang dikumpulkan dalam majlis. Majlis ini melakukan ijtihad lalutimbullah consensus bersama yang disebut ijma.

2.      Kondisi hukum Islam pada masa Umar Bin Khatab
Selanjutnya pada masa khalifah sahabat Umar bin Khatab, beliau juga banyak melahirkan keputusan atau ketetapan-ketetapan hukum mengenai permasalahan yang muncul pada zamannya. Pemerintahan Umar bin Khattab berlangsung selama sepuluh tahun (634-644 M). Umar merupakan sahabat yang mempunyai karakter pemberani dan tegas dalam menentukan persoalan. Beberapa keputusan dan ketetapan hukum yang terjadi pada zaman Umar bin Khattab di antaranya mengenai talak tiga yang di ucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika, di anggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (istri), kawin terlebih dahulu dengan orang lain.
Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan para wanita karena di zamannya banyak pria yang dengan mudajh  menjatuhkan talak tiga sekaligus kepada istrinya untuk dapat dicerai dan kawin dengan yang lainnya. Hal ini pada zaman sahabat Abu Bakar sebagai khalifah di anggap sebagai talak satu.Umar menetapkan garis hukum demikian, untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.
Dalam masalah zakat, al Qur’an menegaskan bahwa golongan yang berhak menerima zakat salah satunya adalah para muallaf (orang yang baru masuk Islam).Maka pada masa Umar, para muallaf tidak lagi di beri zakat, dengan alasan pemberian zakat pada muallaf diberikan karena mereka memerlukan perhatian dan bantuan dari ummat Islam yang kuat dalam memeluk Islam. Umar bin khattab menganggap bahwa pada zamannya, Islam telah kuat kedudukannya dalam msyarakat, dan para muallaf pada zamannya telah cukup kuat untuk mempertahankan keimanannya.
Dalam hal hukum potong tangan yang dijelaskan al Qur’an surah al Maidah. 38, bagi orang yang mencuri di ancam hukuman potongan tangan. Pada masa Umar, teerjadi kelaparan dalam masyarakat semenanjung Arabia, maka dalam keadaan masyarakat yan ditimpa kelaparan tersebut, ancaman terhadap pencuri yan disebutkan dalam al Qur’an tidak diberlakukan pada zaman kepemimpinan khalifah Umar. Berdasarkan pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatan masyarakat.
Kemudian dalam al Qur’an surah al Maidah.5,terdapat ketentuan yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).Akan tetapi khalifah Umar melarang perkawinan yang demikian, untuk melindungi wanita Muslim dan keamanan rahasia Negara (Mohammad Daud Ali. 175, 2009).
3.      Kondisi hukum Islam pada masa Utsman Bin Affan
Selanjutnya masuk ke dalam masa ke khalifahan Utsman bin Affan yang berlangsung dari tahun 644-656 M, produk hukum yang dibangunnya dapat juga dilihat dari jasa-jasa besarnya yang paling penting yaitu tindakannya telah membuat al Qur’an standar (kodifikasi al Qur’an). Standarisasi al Qur’an dilakukannya karena pada masa pemerintahannya, wilayah Islam telah sangat luas dan di diami oleh berbagai suku dengan bahasa dan dialek yang berbeda.
Karena itu, dikalangan pemeluk agama Islam, terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat al Qur’an yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapkan itu, menimbulkan perbedaan arti, saat berita ini sampai kepada Usman, ia lalu membentuk penitia yang di ketuai Zaid bin Tsabit untuk menyalin al Qur’an yang telah dihimpun pada  masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah (janda nabi Muhammad SAW).Panitia tersebut bekerja secara disiplin, menyalurkan naskan al Qur’an ke dalam Mushaf untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan al Qur’an di wilayah kekuasan Islam pada waktu itu.

4.      Kondisi hukum Islam pada masa Ali Bin Abi Thalib
Pada zaman ke khalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib (656-662 M), Ali tidak banyak mengambangkan hukum Islam, dikarenakan Negara tidak stabil. Di sana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Di antaranya dua kelompok besar yakni, kelompok Ahlussunah Wal Jama’ah dan Syi’ah.
C.    Proses pembukuan hukum pada masa sahabat
Setelah Rasulullah wafat, maka seluruh ayat-ayat Al-Qur’an telah ditulis. Banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur’an, baik sebagian maupun keseluruhan. Ketika berkecamuk peperangan membasmi kaum yang murtad di masa pemerintahan Abu bakar Ash-Shiddiq, banyak di antara para sahabat yang gugur di dalam peperangan itu. Maka muncullah kekhawatiran ‘ulil amri (penguasa pemerintahan) atas hilangnya lembaran Al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat yang gugur di medan perang. Para sahabat kemudian mengajukan usul kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun catatan Al-Qur’an yang ada menjadi satu.
Kemudian Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menghimpun dan menulis Al-Qur’an. Dalam proses pengumpulan, Zaid bermusyawarah dengan para pemuka sahabat. Pertama kali kumpulan Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar kemudian diteruskan penyimpanannya oleh Umar bin Khattab, kemudian diteruskan oleh Hafsah binti Umar. Dan pada 20 H, Khalifah Utsman bin Affan mengambil kumpulan naskah Al-Qur’an dari Hafsah binti Umar dan beliau menginstruksikan kepada Zaid untuk serta beberapa sahabat untuk menukil dan melengkapi naskah tersebut guna disebarkan kepada umat islam. Dengan demikian mudah bagi setiap muslim untuk kembali kepada Al-Qur’an dan tidak terjadi perselisihan perbedaan dialek bacaan. Zaid dan para sahabat menulis enam buah naskah, sebuah disimpan sendiri oleh khalifah Utsman. Sedangkan masing-masing dikirim ke Madinah, Kufah, Mekkah, Basrah dan Damaskus.
Sedangkan pembukuan hukum Islam yang kedua yaitu As-Sunnah belum dibukukan pada masa ini, namun khalifah Umar bin Khattab telah memikirkan pembukuan As-Sunnah. Namun sesudah bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan As-Sunnah, mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi As-Sunnah dari ‘Abdullah ibn Amr ibn Al’Ash yang mempunyai lembaran bernama Al-Shadiq yang menghimpun hadits dari Rasulullah. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu bakar hanya menerima hadits yang diperkuat oleh saksi. Sedangkan umar bin khattab meminta si perawi mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, dan Ali bin Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap hati-hati ini belum dapat merealisasikan tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan As-Sunnah dan hal ini mengakibatkan dua hal, yaitu:
a.       Para ulama’ terpaksa mencurahkan kesungguhan dalam membahas perawi hadits dan tingkatan kepercayaan mereka.
b.      Ketiadaan pembukuan As-Sunnah membawa akibat umat Islam tidak memiliki satu koleksi As-Sunnah sebagaimana mereka memiliki koleksi Al-Qur’an. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai tentang hadits.
Sedangkan periode ijtidah para sahabat, belum ada pembukuan terhadap ijtidah mereka. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan, jika benar maka berasal dari Allah, tetapi jika keliru berasal dari sahabat itu sendiri. Para sahabat itu tidak mengharuskan siapa pun untuk mengikuti fatwanya. Para sahabat seringkali berbeda pendapat tentang berbagai kejadian dan rujukan hukumnya, yang terpenting maksud para sahabat adalah baik, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan










BAB III
KESIMPULAN
·         Sepeninggalnya Rasulullah SAW, nabi telah mewariskan dua sumber hukum Islam yang dapat dijadikan rujukan dalam pemecahan segala permasalahan yang ada, yaitu al Qur’an dan Sunnah nabi.
·         pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.


















DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah Hukum Islam. Penerbit Marja. Bandung : 2005.
Muh. Zuhri. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta : 1996
http://motipasti.wordpress.com/2009/12/27/hukum-islam-pada-masa-sabahat/





















Jumat, 26 September 2014

Emosi & kesehatan

Apa itu emosi?
Emosi berasal dari bahasa latin "movere" yang berarti menggerakan/bergerak. Emosi bisa didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari tubuh,yang melibatkan hampir keseluruhan dari diri individu.
Gejolak emosi baik itu kegembiraan,kemarahan,ataupun kesedihan dapat berpengaruh terhadap kondisi kefaalan tubuh. Sehingga mempengaruhi keseimbangan psikofisiologis.
Jenis-jenis emosi yang terjadi dalam jangka waktu lama dan membahayakan kesehatan
Pertama, rasa marah yang berlebihan bisa mengakibatkan penyakit jantung.
Kedua, rasa takut yang berlebihan bisa menyebabkan penyakit depresi.
Ketiga, rasa cemas yang berlebihan bisa mengancam ginjal.
Keempat, rasa sedih yang berlebihan bisa mengakibatkan sakit pada paru-paru.
Kelima, rasa gembira berlebihan bisa menyebabkan penyakit jantung.
Keenam, rasa malu yang berlebihan bisa menyebabkan timbulnya penyakit seperti maag & liver.

Kamis, 25 September 2014

Hello world,i'm icha!

Hello world!
Aku seorang wanita yang terlahir 17 tahun silam dari perut ibu yang teramat menyayangiku,tepatnya pada tanggal 06 desember 1996. Aku terlahir setelah 3 orang jagoanku lahir beberapa tahun silam dari perut yang sama. Yap! Aku mempunyai 3 orang kakak cowo dan aku terlahir sebagai anak bungsu. Mereka bilang aku anak idaman. Iya ,anak idaman karena ibuku sangat berharap anak bungsunya seorang wanita. Dan alhamdulillah takdir berpihak pada ibuku dan lahirlah aku. Entah dari mana asalnya aku diberi nama nisa fauziyah. Dan dari dulu hingga sekarang aku biasa dipanggil icha.
Icha yang terlahir 17 tahun silam,kini tumbuh menjadi wanita dewasa yang memiliki banyaaaak sekali hobby salah satunya ya ini,nulis!^^

ANTISIPASI SEJAK DINI




Kedua kalinya setelah ramadhan Baroedak Jurnalis Koran Priangan (BAJU KOPRAL) mengadakan acara sosialisasi pencegahan HIV aids.sosialisasi ini diikuti oleh kalangan pelajar  Ciamis pada tanggal 18 September 2014 yang bertempat di aula masjid agung Ciamis.
Acara ini disambut dengan sangat antusias oleh semua pelajar yang mengikuti  sosialisasi ini. terbukti acara ini diikuti oleh 120 pelajar Ciamis,dimana sebelumnya panitia menargetkan peserta hanya 40 orang.  sosialisasi ini menghadirkan pemateri dari persatuan keluarga berencana Indonesia (PKBI) yaitu Khalis A Azis. dalam pemaparan materinya kang Kholis menyampaikan akan bahaya HIV aids.  “temen-temen harus tau bahwa HIV aids ini mematikan, sampai sekarang belum ada obatnya” ungkapnya. Dalam waktu yang sama kang Kholis menyampaikan bahwa virus ini tidak hanya menimpa orang tua saja, “remaja juga bisa terkena virus ini karena  HIV aids ini bisa menular tidak melalui hubungan seks saja, tetapi salah satunya bisa melalui jarum suntik dan transfusi darah”tambahnya.
Acara yang digagas  BAJU KOPRAL ini di mulai jam 15.30-16.45. “wah seru banget aku bisa bertemu dengan kawan-kawan dari sekolah lain dan bisa menambah wawasanku tentang HIV aids” ujar salah satu peserta yang bernama Asri dari Man Darussalam Ciamis.