BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum
islam bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir
ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada
periode-periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan
bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Masa Khulafaur
Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang sebagai masa yang penuh
dengan kekuatan sekaligus perpecahan.
Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena pada masa
ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing-masing
identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam
menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga
akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut juga masa
permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi Muhammad SAW meninggal
dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan menjadi pemimpin
umat islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang
berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya.
Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka
tidak mewasiatkan atau menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa
pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad
sesuai dengan perkembangan zaman masing-masing sahabat itu.
Hal ini sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: (أنتم
أعلم بأمور دنياكم), yang artinya “Kalian-kalian semua lebih mengetahui tentang
urusan dunia kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling
dekat dengan Nabi, terutama empat sahabat yang terkenal dengan sebutan
Khulafa’ur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga (أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم
اهتديتم), yang artinya “sahabat-sahabatku ibarat bintang – bintang, siapa saja
yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk (hidayah)”. Berbeda
dengan Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat sebagai manusia biasa juga
pernah membuat kesalahan, dan dalam menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat
berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio-kultural di samping ilm- ilmu agama
yang dimiliki mereka. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam
suatu permasalahan terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum Islam pada masa sahabat?
2. Apa sumber hukum Islam yang dipakai pada masa sahabat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hukum Islam pada masa sahabat
2. Untuk mengetahui sumber hukum Islam yang dipakai pada masa sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber
hukum islam yang dipakai pada masa sahabat
Pada masa sahabat, hukum
Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat
Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali
persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat Islam pada masa itu yang
memerlukan penentuan hukum. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara,
para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum
Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para
sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat sangat
berhati-hati dalam menggunakan akal (ra’yu). Kebanyakan mereka mencela ra’yu.
Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela
apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama.
Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai
pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu
(pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar
pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Alasan para sahabat
melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasulullah melakukan ijtihad
bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke
Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz,“Dengan apa engkau menghukumi sesuatu?” Jawab
Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Allah.” Kemudian Rasul
bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?” Jawab
Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasulullah.” Dan Rasul
bertanya lagi, “Dan jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah Rasulullah?” Jawab
Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul
membenarkannya seraya memuji Allah atas limpahannya Taufik-Nya.
Para sahabat yang pernah
mengalami hidup bersama Nabi Muhammad, diantara mereka banyak yang hafal
Al-Qur’an dan Hadits. Karena keistimewaan inilah mereka memiliki keahlian untuk
menjelaskan nash-nash tersebut jika ada pertanyaan atau persoalan yang muncul
pada masa itu. Karena para sahabat mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi bersabda, maka mereka memahami tentang ketetapan
hukum serta maksud dan tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan
ummat. Diantara para sahabat yang termasyhur yakni, Abu bakar, Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik,
Abu Musa, Abdullah bin Amir bin As, Zaid bin Tsabit dll.
Dan dalam berijtihad
tidak jarang para sahabat berbeda pendapat. Keputusan fiqih yang berbeda ini
karena beberapa hal, misalnya:
1. Perbedaan persepsi dalam menjawab persoalan
dan pertanyaan yang muncul. Misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan,
Rasulullah berdiri ketika menyaksikan jenazah orang Yahudi. Ini melahirkan
keragaman penafsiran, apakah Nabi tidak tahu bahwa jenazah tersebut adalah
orang Yahudi, sehingga, andaikata Nabi mengetahui ia tidak akan berdiri, atau
apakah Nabi tahu, sehingga penghormatan jenazah itu perlu tanpa memandang agama
si mayit, ataukah Nabi tidak mau kalau ketika mayit melintas, posisi Nabi lebih
rendah sehingga beliau berdiri.
2. Perbedaan pendapat
juga dapat terjadi karena sebuah hadits diketahui oleh orang tertentu yang
tidak dipakai atau diketahui oleh orang lain. Contohnya perbedaan pendapat
tentang najis mughalladzah, do’a qunut dalam shalat subuh dll.
3. Hadits yang dipandang
tidak kuat, sehingga harus ditinggalkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bahwa ia ditalak suaminya tiga
kali, dan Rasulullah tidak menentukan baginya nafkah dan tempat tinggal. Umar
menolak kesaksiannya itu dan berkata, “Saya tidak akan meninggalkan Kitab Allah
hanya karena ucapan seorang wanita yang tidak saya ketahui benar dan tidaknya.
Dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal”.
4. Keragaman pengetahuan
tentang nash juga melahirkan perbedaan pendapat. Nabi pernah memberi keringanan
kepada sahabat untuk nikah mut’ah pada tahun Khaibar dan Authas, kemudian
melarangnya. Berdasarkan keputusan Nabi tadi, sebagian orang Islam mengatakan
bahwa nikah mut’ah yang tadinya diperbolehkan itu telah dinasakh dengan
larangannya, dan tidak pernah diperbolehkan itu telah diperbolehkan lagi.
Sebagian lain berpendapat bahwa dilarang dan diperbolehkannya nikah mut’ah itu
karena pertimbangan tertentu, bukan tanpa alasan seperti pendapat pertama.
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di
kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan
dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal
inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
B.
Kondisi hukum Islam pada masa khulafaurrasyidin atau sahabat
Pasca kepergian Rasulullah SAW, hukum
Islam yang telah di bangun oleh oleh beliau sebagai dasar-dasar yang mengatur
kehidupan bermasyarakat, kemudian diteruskan oleh para sahabat-sahabat nabi
yang semasa hidupnya secara sukarela sudah ikut terlibat dalam perjuangan nabi
mensyi’arkan ajaran-ajaran Islam. Pada zaman Rasulullah SAW, pemegang otoritas
kekuasaan tasy’ri sepenuhnya di pegang oleh nabi Muhammad SAW.
Sepeninggalnya Rasulullah SAW, nabi
telah mewariskan dua sumber hukum Islam yang dapat dijadikan rujukan dalam
pemecahan segala permasalahan yang ada, yaitu al Qur’an dan Sunnah nabi.
Kehidupan bermasyarakat yang semakin dinamis, memingkinkan timbulnya
permasalahan-permasalahan baru yang harus dipecahkan, untuk itu para ulama baik
dikalangan sahabat dan tokoh Islam lainnya, berkeawjiban menegakkan hukum
tas’ri pada zamannya masing-masing. Kewajiban tersebut,
sebagaimana AW. Khalaf simpulkan berupa; penjelasan kepada umat
Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan interpretasi
dari teks-teks al Qur’an dan as Sunnah.
Kemudian, menyebarluaskan dikalangan
umat Islam tentang hal-hal yang mereka hafal dari ayat-ayat al Qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW. Lalu, memfatwakan kepada masyarakat tentang
peristiwa-peristiwa hukum dan urusan peradilan yang belum terdapat ketetapan
hukumnya (Abdul Wahab Khalaf. 5, 2002).
Adapun sumber dan metode penetapan hukum
pada masa sahabat dapat disarikan dari al Qur’an, hadits Rasulullah SAW, dan
Ijtihad Sahabat. Sedangkan dalam pandangan Khudari Bik, sumber pengambilan
hukum pada masa sahabat dapt di ambil dari; al Qur’an sebagai landasan utama,
kemudian as Sunnah, Qiyas atau Ra’yu (pendapat), lalu Ijma yang bersandar pada
al Qur’an, sunnah dan qiyas (Khudari Bik. 259).
Alur pemecahan masalahnya adalah ketika
terjadi suatu permasalahan baru atau persengketaan, maka para sahabat dan ahli
fatwa mencari ketetapan hukumnya melalui al Qur’an, apabila mereka menemukan
pemecahannya dalam al Qur’an, maka mereka menerapkan hukum tersebut.Jika
ternyata tidak ditemukan keterangan dalam al Qur’an, maka para ulama membangun
fatwa yang bersandar pada as Sunnah. Jika memang tidak didapati keterangan yang
spesifik tentang permasalahan yang muncul, maka para ulama melakukan ijtihad
untuk menyelesaikannya,baik dengan ijtihad ataupun qiyas dengan pertimbangan utuk
kemaslahatan umat manusia.
Argumentasi kenapa setiap permasalah
harus di ambil pemecahannya dalam al Qur’an dan hadits nabi, itu berdasar pada
keterangan dalam QS.An Nisa, 59. Sementara dasar argumentasi yang mengharuskan
ijtihad sahabat merupakan bagian dari hukum Islam adalah bersandar pada apa
yang pernah terjadi ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal menjadi
Qadhi di negeri Yaman (lihat AW. Khalaf.49, 2002).
Sementara karakteristik tasyri pada
zaman sahabat yang bisa dilihat adalah, fiqih pada zaman ini sejalan dan serasi
dengan segala permasalahan yang muncul kala itu. Tidak terbatas pada apa yang
pernah terjadi pada masa Rasul. Sementara yang memegang kendali fatwa dan qadha
dalam berbagai permasalahan penting adalah para khalifah.
Pada zaman ini, al Qur’an telah di
bukukan dan mushaf telah disentralisasikan, sehingga kaum Muslim dapat
terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi masyarakat Islam yang
sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa kelompok.Kemudian sunnah pada zaman
ini, masih terjaga kemurniannya, tidak terkontaminasi dengan kebohongan dan
penyimpangan karena zaman yang begitu dekat dengan Rasulullah dan para
penukilnya adalah para sahabat Rasul.
Selain itu pada zaman ini, muncul satu
sumber baru bagi perundang-undangan silam yaitu Ijma’ dan itu sering terjadi
karena memang sudah dilakukan dan semua asbabnya memadai. Kemudian para sahabat
tidak mewariskan fiqih yang tertulis, namun mereka hanya mewariskan fatwa dan
hokum yang tersimpan dalam dada para sahabat dan disampaikan dengan cara
penghikayatan (Rasyad Hasan Khalil. 75, 2009).
Ketentuan-ketentuan hukum
bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyariatkan Tuhan untuk mengatur tata
kehidupan mereka di dunia, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun
kemsyarakatan. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan
memperoleh ketentraman dan kenyamana serta kebahagiaan dalam hidupnya. Allah
berfirman dalam Surat Al-Nisa ayat 105:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu”.
Sejarah penetapan hukum Islam pada periode sahabat dimulai
sejak wafatnya Nabi Muhammad wafat, yaitu tahun 11 Hijriyah. Dan berakhir
ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41
Hijriyah. Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum Islam dalam arti
fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil pemahaman
terhadap Al-Qur’an dan hadits. Hukum dalam pengertian syariat telah berhenti
bersamaan dengan Nabi Muhammad wafat. Periode ini disebut sebagai periode
sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para sahabat.
Dan masa mulai dari periode khulafaur
Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior, hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu
dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661
M). Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa
daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan
Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat
mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Pada periode sahabat dalam penetapan hukum Islam
ini lahir syarat dan ketentuan siapa yang berhak menetapkan hukum dan memberi
fatwa, antara lain:
a. Sampai sejauh mana keahlian mereka
dalam soal hukum.
b. Berapa lama mereka bergaul dan dekat
dengan Nabi Muhammad.
c. Dan seberapa jauh pengetahuan mereka
tentang Al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun hadits.
d. Di samping itu juga hafal Al-Qur’an
dan hadits juga dipertimbangkan.
Periode sahabat ditandai dengan penafsiran undang-undang dan
terbukanya istinbath hukum (menetapkan hukum) dalam
kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari para pemuka sahabat muncul
pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dapat
dipandang sebagai pandangan yuridis (kehakiman) bagi penafsiran nash-nash serta
penjelasannya. Dari para sahabat banyak keluar fatwa hukum mengenai kejadian
yang tidak ada nashnya dan dapat dipandang sebagai dasar dalam berijtihad dan
beristimbath.
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki
rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an dan Hadits Rasul.
Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan
peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat
kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri
Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah,
Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar pada Al-Kitab, atau
As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
1. Kondisi hukum Islam pada masa Abu
Bakar
Pada awal kekhalifahan sahabat Abu Bakar
as Shidiq, ia memegang kekuasaan tasyri mengenai problem yang belum ada
ketetapan hukumnya menurut nash dalam suatu lembaga tasyri yang dibentuk dan di
hadiri oleh para sahabat. Abu Bakar dikenal sebagai orang yang jujur dan
disegani, ia merupakan salah satu sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah
SAW, karena kedeketannya dengan Rasul itulah, ia mempunyai pengertian yang
dalam tentang jiwa keislaman di banding dengan sahabat yang lain.
Di ceritakan dalam riwayat yang
dikemukan al Baghawi dalam kitabnya “Masahih as-Sunnah”, ia menuturkan “Abu
Bakar, kalau dihadapkan suatu kasus perselisihan kepadanya, maka beliau mencari
ketetapan hukumnya dalam al Qur’an. Kalau beliau mendapat ketetapan hukumnya
dalam al Qur’an, maka beliau memutuskan perkara meraka dengan ketetapan menurut
al Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam al Qur’an beliau menetapkan ketetapan
hukumnya menurut ketetapan Rasulullah SAW dalam sunnah, kemudian jika mendapat
kesulitan beliau berkonsultasi dengan sesame sahabat, kemudian berkata “telah
dihadapkan kepadaku suatu permasalahan, apakah di antara kalian ada yang
mengetahui bahwa nabi telah menetapkan hukumnya perihal masalah seperti
ini?.Adakalanya sekelompok sahabat berkumpul dan menyebutkan bahwa nabi SAW
pernah menetapkan hukumnya. Kemudian Abu Bakar berkata: “segala puji bagi Allah
yang telah menjadikan di antara kita orang yang menghafal sunnah nabi kita”.
Cara yang
dilakukan dalam memecahkan persoalan, mula-mula dicarinya wahyu dalam wahyu
tuhan. Kemudian dalam dunah nabi, kemudian abu baker bertanya kepada sahabat
nabi yang dikumpulkan dalam majlis. Majlis ini melakukan ijtihad lalutimbullah
consensus bersama yang disebut ijma.
2.
Kondisi hukum Islam pada masa Umar Bin Khatab
Selanjutnya pada masa khalifah sahabat
Umar bin Khatab, beliau juga banyak melahirkan keputusan atau
ketetapan-ketetapan hukum mengenai permasalahan yang muncul pada zamannya.
Pemerintahan Umar bin Khattab
berlangsung selama sepuluh tahun (634-644 M). Umar merupakan sahabat yang
mempunyai karakter pemberani dan tegas dalam menentukan persoalan. Beberapa
keputusan dan ketetapan hukum yang terjadi pada zaman Umar bin Khattab di
antaranya mengenai talak tiga yang di ucapkan sekaligus di suatu tempat pada
suatu ketika, di anggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk sebagai suami
istri, kecuali salah satu pihak (istri), kawin terlebih dahulu dengan orang
lain.
Garis hukum ini ditentukan oleh Umar
berdasarkan kepentingan para wanita karena di zamannya banyak pria yang dengan
mudajh menjatuhkan talak tiga sekaligus kepada istrinya untuk dapat
dicerai dan kawin dengan yang lainnya. Hal ini pada zaman sahabat Abu Bakar
sebagai khalifah di anggap sebagai talak satu.Umar menetapkan garis hukum
demikian, untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang
berada dalam tangannya.
Dalam masalah zakat, al Qur’an
menegaskan bahwa golongan yang berhak menerima zakat salah satunya adalah para
muallaf (orang yang baru masuk Islam).Maka pada masa Umar, para muallaf tidak
lagi di beri zakat, dengan alasan pemberian zakat pada muallaf diberikan karena
mereka memerlukan perhatian dan bantuan dari ummat Islam yang kuat dalam
memeluk Islam. Umar bin khattab menganggap bahwa pada zamannya, Islam telah
kuat kedudukannya dalam msyarakat, dan para muallaf pada zamannya telah cukup
kuat untuk mempertahankan keimanannya.
Dalam hal hukum potong tangan yang
dijelaskan al Qur’an surah al Maidah. 38, bagi orang yang mencuri di ancam
hukuman potongan tangan. Pada masa Umar, teerjadi kelaparan dalam masyarakat
semenanjung Arabia, maka dalam keadaan masyarakat yan ditimpa kelaparan
tersebut, ancaman terhadap pencuri yan disebutkan dalam al Qur’an tidak
diberlakukan pada zaman kepemimpinan khalifah Umar. Berdasarkan pertimbangan
keadaan (darurat) dan kemaslahatan masyarakat.
Kemudian dalam al Qur’an surah al
Maidah.5,terdapat ketentuan yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli
kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).Akan tetapi khalifah Umar melarang perkawinan
yang demikian, untuk melindungi wanita Muslim dan keamanan rahasia Negara
(Mohammad Daud Ali. 175, 2009).
3.
Kondisi hukum Islam pada masa Utsman Bin Affan
Selanjutnya masuk ke dalam masa ke
khalifahan Utsman bin Affan yang berlangsung dari tahun 644-656 M, produk hukum
yang dibangunnya dapat juga dilihat dari jasa-jasa besarnya yang paling penting
yaitu tindakannya telah membuat al Qur’an standar (kodifikasi al Qur’an).
Standarisasi al Qur’an dilakukannya karena pada masa pemerintahannya, wilayah
Islam telah sangat luas dan di diami oleh berbagai suku dengan bahasa dan
dialek yang berbeda.
Karena itu, dikalangan pemeluk agama
Islam, terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat al Qur’an yang
disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapkan itu, menimbulkan
perbedaan arti, saat berita ini sampai kepada Usman, ia lalu membentuk penitia
yang di ketuai Zaid bin Tsabit untuk menyalin al Qur’an yang telah dihimpun
pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah (janda nabi
Muhammad SAW).Panitia tersebut bekerja secara disiplin, menyalurkan naskan al
Qur’an ke dalam Mushaf untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan al
Qur’an di wilayah kekuasan Islam pada waktu itu.
4.
Kondisi hukum Islam pada masa Ali Bin Abi Thalib
Pada zaman ke khalifahan sahabat Ali bin
Abi Thalib (656-662 M), Ali tidak banyak mengambangkan hukum Islam, dikarenakan
Negara tidak stabil. Di sana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam
tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan
kelompok-kelompok. Di antaranya dua kelompok besar yakni, kelompok Ahlussunah
Wal Jama’ah dan Syi’ah.
C.
Proses
pembukuan hukum pada masa sahabat
Setelah Rasulullah wafat, maka seluruh ayat-ayat Al-Qur’an telah
ditulis. Banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur’an, baik sebagian maupun keseluruhan.
Ketika berkecamuk peperangan membasmi kaum yang murtad di masa pemerintahan Abu
bakar Ash-Shiddiq, banyak di antara para sahabat yang gugur di dalam peperangan
itu. Maka muncullah kekhawatiran ‘ulil amri (penguasa pemerintahan) atas
hilangnya lembaran Al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat yang gugur di medan
perang. Para sahabat kemudian mengajukan usul kepada khalifah Abu Bakar agar
menghimpun catatan Al-Qur’an yang ada menjadi satu.
Kemudian Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menghimpun dan
menulis Al-Qur’an. Dalam proses pengumpulan, Zaid bermusyawarah dengan para
pemuka sahabat. Pertama kali kumpulan Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar
kemudian diteruskan penyimpanannya oleh Umar bin Khattab, kemudian diteruskan
oleh Hafsah binti Umar. Dan pada 20 H, Khalifah Utsman bin Affan mengambil
kumpulan naskah Al-Qur’an dari Hafsah binti Umar dan beliau menginstruksikan
kepada Zaid untuk serta beberapa sahabat untuk menukil dan melengkapi naskah
tersebut guna disebarkan kepada umat islam. Dengan demikian mudah bagi setiap
muslim untuk kembali kepada Al-Qur’an dan tidak terjadi perselisihan perbedaan
dialek bacaan. Zaid dan para sahabat menulis enam buah naskah, sebuah disimpan
sendiri oleh khalifah Utsman. Sedangkan masing-masing dikirim ke Madinah,
Kufah, Mekkah, Basrah dan Damaskus.
Sedangkan pembukuan hukum Islam yang kedua yaitu As-Sunnah belum
dibukukan pada masa ini, namun khalifah Umar bin Khattab telah memikirkan
pembukuan As-Sunnah. Namun sesudah bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan
para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan As-Sunnah, mengapa? Karena
waktu itu hanya dikenal satu versi As-Sunnah dari ‘Abdullah ibn Amr ibn Al’Ash
yang mempunyai lembaran bernama Al-Shadiq yang menghimpun hadits dari
Rasulullah. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Qur’an dilakukan oleh
para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek
perawinya. Abu bakar hanya menerima hadits yang diperkuat oleh saksi. Sedangkan
umar bin khattab meminta si perawi mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar
telah meriwayatkannya, dan Ali bin Abi Thalib meminta agar si perawi hadits
bersumpah. Namun demikian, sikap hati-hati ini belum dapat merealisasikan
tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan As-Sunnah dan hal ini mengakibatkan dua
hal, yaitu:
a.
Para ulama’ terpaksa mencurahkan kesungguhan dalam membahas perawi
hadits dan tingkatan kepercayaan mereka.
b.
Ketiadaan pembukuan As-Sunnah membawa akibat umat Islam tidak
memiliki satu koleksi As-Sunnah sebagaimana mereka memiliki koleksi Al-Qur’an.
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai tentang hadits.
Sedangkan periode
ijtidah para sahabat, belum ada pembukuan terhadap ijtidah mereka. Nilai fatwa
para sahabat merupakan pendapat perseorangan, jika benar maka berasal dari
Allah, tetapi jika keliru berasal dari sahabat itu sendiri. Para sahabat itu
tidak mengharuskan siapa pun untuk mengikuti fatwanya. Para sahabat seringkali
berbeda pendapat tentang berbagai kejadian dan rujukan hukumnya, yang
terpenting maksud para sahabat adalah baik, yakni mewujudkan kemaslahatan dan
menolak kerusakan
BAB III
KESIMPULAN
·
Sepeninggalnya
Rasulullah SAW, nabi telah mewariskan dua sumber hukum Islam yang dapat
dijadikan rujukan dalam pemecahan segala permasalahan yang ada, yaitu al Qur’an
dan Sunnah nabi.
·
pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
DAFTAR
PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah Hukum Islam. Penerbit
Marja. Bandung : 2005.
Muh. Zuhri. Hukum
Islam dalam Lintasan Sejarah. PT. Raja Grafindo
Persada.Jakarta : 1996
http://motipasti.wordpress.com/2009/12/27/hukum-islam-pada-masa-sabahat/